Cr: infusionsoft.com |
Seorang pemuda berusia belasan tahun mengepak konsol game koleksinya ke dalam sebuah mobil tua. Ia berniat untuk menjualnya untuk modal usaha, setelah gagal dalam beberapa tahap usaha memulai berbisnis yang membikin uangnya kini habis.
Top Ittipat, nama pemuda itu, memang
bocah yang sangat gigih. Begitulah setidaknya yang tergambar dari sebuah film Thailand
berjudul The Billionare. Konon, film ini diambil dari kisah nyata seorang
pengusaha sukses yang berhasil memasarkan snack rumput laut asal negeri tom yum
tersebut. Saya rasa hampir semua orang Indonesia mengenal produk yang punya
nama lumayan susah disebutkan orang Indonesia ini, Tao Kae Noi.
Dalam film tersebut, Top, yang
merupakan seorang gamer, menemukan
bahwa dia bisa menjual senjata dalam game. Top menjual begitu banyak, dan
menghasilkan begitu banyak uang hingga akhirnya ia bisa membeli mobil sendiri.
Namun, tanpa terasa kuliahnya terbengkalai karena Top sadar bahwa passion-nya
adalah berjualan.
Suatu hari, bisnis orangtua Top
bankrut. Ia akhirnya mencari jalan untuk membangun usaha sendiri. Awalnya, Top
memulai berjualan kacang rebus, namun gagal setelah banyak perjuangan yang ia
alami. Setelah itu, ia menemukan camilan menarik milik temannya, snack rumput
laut. Top berpikir untuk membuatnya sendiri. Setelah malam-malam penuh
kegagalan, akhirnya ia bisa membuat produk yang enak.
Perjuangan tidak berhenti di situ.
Top harus memikirkan cara bagaimana memasarkan produk miliknya. Lagi-lagi
sebuah perjuangan yang melelahkan, tapi toh akhirnya membuahkan hasil juga.
Produk Top diterima sebuah toko ritel, kemudian ia sukses besar.
The Billionare adalah salah satu
dari sekian banyak media informasi yang menyampaikan pesan bahwa, kalau kamu
mau berbisnis, just do it. Kamu bakal
banyak mengalami jatuh bangun, dalam proses itu tentu akan mendapat banyak
pelajaran. Tapi, seringkali orang menganggapnya mentah-mentah. Just do it, bahkan dengan kesiapan model
bisnis yang lemah dan informasi nol mengenai pasar. Ujungnya hanya berakhir
dengan kegagalan dan kegagalan saja.
Padahal, banyak pengusaha sukses yang
saya wawancarai memulai bisnisnya tidak sekedar bermodal uang dan niat. Mereka
selalu melakukan satu hal yang penting namun sering terlupakan. Riset!
Menurut Financial Edge yang dilansir
dari Detik Finance, alasan kegagalan sebuah startup
di antaranya adalah tidak dilakukannya riset pasar dan kurangnya perencanaan
bisnis. Melalui riset, kita jadi tahu pasar apa yang ingin kita sasar, apa
masalah yang ada di dalamnya, bagaimana solusi untuk masalah tersebut, bagaimana
model bisnis yang pas, lalu bagaimana eksekusinya. Itu untuk bisnis yang
solutif. Kalau sekedar ingin jadi pemasar produk yang sudah ada, riset juga tetap
saja diperlukan untuk memahami perilaku pelanggan dan bagaimana para kompetitor
bekerja.
Pasar adalah satu kata kunci penting
dalam berbisnis. Kalau saya mau berjualan, tapi tidak mengenal pasar, itu sama
saja seperti membuang garam ke laut. Menurut Neil Patel, dalam tulisannya di lamanonline Forbes, kesalahan pertama yang dilakukan sebuah startup gagal adalah membuat produk yang tidak diinginkan
orang-orang. Pengetahuan akan pasar yang baik membuat saya tahu keinginan
mereka, dan kemudian menemukan bagaimana cara memunculkan produk yang tepat
untuk memenuhinya.
Bahkan, perusahaan yang sudah besar
pun memerlukan riset pasar terus menerus. Rezky Yanuar, Country Manager Shopee
Indonesia, sempat berkata pada saya bahwa Shopee terus-terusan melihat bagaimana
perilaku pasar e-commerce yang
dinamis. Perubahan yang sangat cepat itu harus ditanggapi dengan inovasi dan
eksekusi yang cepat juga. Hal itu Shopee tuangkan salah satunya dengan
menghadirkan game-game di dalam aplikasnya. Ia tahu persis bahwa pasarnya,
generasi milenial ke bawah, dapat ditingkatkan engagement-nya melalui cara tersebut.
Rezky juga paham bahwa kini
pelanggan e-commerce tidak hanya dari
kaum urban saja, tapi juga masyarakat di daerah. Memengang pengetahuan itu, ia
memasang iklan di televisi, media yang diminati masyarakat daerah, sekaligus
pasar yang lebih besar daripada kaum urban.
Setelah memahami pasar, menemukan
model bisnis yang tepat, alangkah baiknya juga bila melakukan riset produk. Hal
ini dilakukan Ade F. Meyliala, seorang pengusaha madu mentah asli bertajuk Bali
Honey. Dalam wawancara dengannya, Ade menjelaskan dengan sangat jelas bagaimana
produknya dihasilkan dan apa yang menjadi nilai tambah produknya. Sebelum
memahami itu semua, Ade melakukan riset selama satu tahun penuh untuk menemukan
lokasi peternakan yang tepat dan menghabiskan Rp 1,5 miliar rupiah dari modal
Rp 5 miliar yang ia siapkan.
Kini, dengan memahami betul kualitas
madu premiumnya, Ade berani mematok harga madu Rp 275 ribu per 600g. Hal
tersebut bisa dilakukannya juga karena ia tahu pasar mana yang akan ia sasar
nantinya.
Riset terhadap sebuah masalah sempat
dilakukan oleh Eddy Christian Ng, CEO dari startup
e-commerce furnitur bernama Livaza. Awalnya,
ide membangun Livaza mencul dari kesulitan Eddy mencari furnitur, karena
pilihan di toko hanya sedikit. Ia akhirnya berkeliling Indonesia untuk melihat
karya para pengrajin daerah yang belum terekspos. Dalam riset itu, ia menemukan
bahwa produk daerah yang berkualitas itu, bukannya laris di pasar lokal malah
lebih sering diimpor. Eddy melihat masalah itu sebagai peluang untuk mendirikan
Livaza. Kini, sudah ada 300 UKM yang bergabung dengannya dengan total penjualan
per bulan mencapai US$ 100-500 ribu.
Bila saat ini kamu sedang berniat
untuk memulai sebuah bisnis, lakukanlah dengan persiapan matang. Ingatlah bahwa
bahkan ketika hendak melakukan apapun; perang, lomba debat, kompetisi olahraga,
sampai main judi sekalipun, pengetahuan kita akan medan tempat kita akan
berperang akan menentukan hasil akhirnya.
No comments:
Post a Comment