Sebagai manusia, tentu kita pernah merasa tidak puas dengan apa yang kita miliki saat ini. Kekurangan-kekurangan dalam hidup kita; kurang drama, konflik, kebahagiaan, atau kesedihan; membuat kita merasa memiliki kehidupan yang membosankan atau melelahkan.
Berdasarkan ketidakpuasan tersebut, kita mulai menginginkan kehidupan orang lain.
Dalam hal ini, fiksi mengakomodir ketidakpuasaan kita dengan memberikan pengalaman menjadi orang lain. Seringkali ketertarikan kita akan suatu fiksi- baik dalam film ataupun novel- dibangkitkan oleh karakter seorang tokoh yang menarik serta alur cerita yang lucu, menegangkan, menyedihkan, romantis, bahkan menyeramkan. Kita dibuat hanyut ke dalam cerita, berempati kepada karakter utama dengan turut merasakan segala warna emosi yang dialaminya, seakan-akan kita hidup sebagai dirinya. Sementara menjalani hidup yang 'membosankan', pikiran kita diajak berpetualang untuk menolong seorang putri raja, atau bertarung melawan monster kadal berhidung babi.
Fiksi merupakan sebuah cerita, begitupun sejarah. Penulis mengalami pengalaman serupa yang akan dirasakan bila menyaksikan fiksi saat membaca sebuah buku berjudul "Sukarno: Penyambung Lidah Rakyat" karya Cindy Adams. Meski merupakan sebuah biografi, buku tersebut bercerita dari sudut pandang Sukarno; menjelaskan pemikirannya, mengekspresikan emosi yang dia alami, serta menggambarkan situasi saat ia hidup. Sama seperti fiksi, segala aspek sejarah dalam buku ini begitu menyenangkan.
Namun tentunya terdapat perbedaan antara keduanya, dimana sejarah merupakan kejadian nyata. Komponen sejarah tidak mungkin berlatar supernatural maupun dunia dengan level imajinasi tingkat tinggi seperti pada fiksi. Sejarah terbatas pada kejadian di lingkup dunia yang bisa kita lihat.
Terlepas dari itu, keistimewaan sejarah adalah kenyataan bahwa peristiwa yang diceritakan benar-benar terjadi, bahkan seringkali ditulis langsung oleh karakter utamanya. Sejarah berimbas pada kehidupan saat ini, bukan merupakan suatu dunia terpisah dari semesta yang kita tinggali. Sukarno dan Hatta mendeklarasikan kemerdekaan kita, misalnya, berpengaruh besar dalam revolusi kemerdekaan bangsa ini. Andaikan hal itu tidak pernah terjadi, tentunya alur kehidupan setelahnya akan berbeda dari yang kita alami saat ini. Bisa jadi lebih buruk, bisa jadi lebih baik. Sulit menentukan berbedaan dari sebuah alternatif sejarah karena efek dominonya.
Dengan membaca sejarah, kita dapat menemukan banyak pemikiran pendahulu dengan beragam latar belakang pendidikan, maka selain mendapatkan cerita yang menarik, kita juga dapat mengambil ilmu formal dari penuturan para tokoh berpengaruh. Beragam pandangan juga dapat kita serap, hingga dapat dijadikan dasar dari pemikiran kita saat ini. Misalnya, dalam tulisan Tan Malaka, dipaparkan pemikiran-pemikiram beliau beserta dasar pemikiran sebelumnya seperti pendapat Hegel atau Kant. Juga dalam biografi Hatta, beliau menceritakan bagaimana beliau memandang kehidupan dengan latar belakang Islam yang kuat yang dikombinasikan dengan pendidikan dari Belanda. Beragam masukan sudut pandang seperti ini tentunya akan membuat kita lebih bijak dalam berpikir.
Tidak seperti fiksi yang akan tamat begitu buku ditutup, sejarah terus berulang. Situasi yang berulang, begitupula masalah. Apa yang telah terjadi dapat menjadi pembelajaran agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama. Kajian sejarah dapat menghasilkan output berupa rumus-rumus untuk menghindari dan/atau memecahkan masalah serupa di masa depan.
Sebagai pemuda Indonesia yang masih memiliki semangat pada puncaknya, alangkah baiknya kita memperkaya diri dengan pengetahuan sejarah. Disamping membuatnya menjadi pengalaman menyenangkan, kita dapat mengambil banyak manfaat dari mengetahui sejarah. Kita dapat membuat membaca sejarah menjadi kegiatan rutin untuk menghibur diri sebagaimana layaknya yang kita lakukan pada film atau novel.
-ns
No comments:
Post a Comment