Tahun ini saya bersama anak-anak kelahiran 1995 memasuki usia 23 tahun. Kebanyakan dari kami sedang memegang status fresh graduate, baru lulus dan masih seger-segernya.
Awalnya saya pikir kehidupan setelah lulus akan membahagiakan. Gak ada tugas, gak ada beban skripsi, dan punya titel sarjana di belakang nama.
Ternyata oh ternyata, saya salah besar. Ada banyak beban tak tertulis menanti di ujung toga wisuda. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan setiap kali ngelamun sedikit aja.
Bukan, bukan lagi pertanyaan sejenis nanti-malam-mau-makan-apa atau besok-mau-nongkrong-di-mana. Pertanyaan yang muncul sungguh berfaedah. Intinya sih, mau dibawa ke mana hidup saya?
Ini yang disebut quarter-life crisis atau krisis di seperempat hidup. Kecemasan soal memasuki dunia nyata dan bagaimana hidup sebagai orang dewasa mulai muncul di periode ini.
Usia dua puluhan adalah jembatan antara penyesalan karena salah milih jurusan dengan cabang untuk bertemu pilihan baru yang risky. Kita semua tahu, setiap pilihan yang dibuat akan nentuin hidup kita ke depannya. Kebanyakan sih tiga poin besar yang bikin anak 20an galau banget. Karir, cinta, dan tujuan hidup.
Soal karir, saya sendiri lagi masih bertanya-tanya. Apakah perlu saya mengejar passion, atau mengejar uang dulu sambil mengesampingkan passion? Selagi saya kelamaan mikir, teman-teman di luar sana udah start duluan.
Mungkin gak cuma saya doang yang ngalamin ini. Saya gak jarang sibuk melihat teman-teman yang karirnya udah lebih maju duluan. Melihatnya, motivasi tentu muncul. Lebih kuat dari sebelumnya. Namun, yang saya takutkan adalah pengambilan keputusan yang terburu-buru karena ingin cepat-cepat mulai juga.
cr: Janna Fong |
Setiap garis hidup ada porsinya masing-masing. Mungkin sebelum jadi miliarder, saya dan kamu harus ngegembel dulu bertahun-tahun. Mungkin sebelum bisa beli gedung perkantoran kaya Hotman Paris, kita emang perlu tidur beralaskan koran dulu di depan Alfamart.
Soal cinta, saya sudah skeptis soal itu. Dengan beberapa pengalaman buruk di masa lalu, I realized I'm not a family girl nor a relationship girl. Saya merasa lebih bahagia ketika sendirian, sampai berpikir untuk tidak menikah. Pasti banyak diantara teman-teman satu generasi yang merasakan hal sama.
Kegamangan saya soal cinta bentuknya lagi-lagi kumpulan pertanyaan. Apakah kalau saya memutuskan untuk tidak menikah, penyesalan gak akan muncul? Bagaimana kalau saya berubah pikiran di usia 35 ke atas? Bagaimana saya mengatasi kesepian?
Tujuan hidup lah yang sebenarnya jadi penentu buat dua poin sebelumnya. Nilai ini yang terus-terusan kita pegang dan bakal berpengaruh sama pilihan karir dan cinta.
Tujuan hidup manusia intinya ya jadi bahagia. Definisi bahagia ini macem-macem dan gak sesederhana keliatannya.
Gimana sih cara mendefiniskan kebahagiaan?
Dalam diskusi bersama seorang teman, saya mendapatkan pencerahan. Menurutnya, sebelum kita bisa mendefinisikan kebahagiaan, kita perlu mendefinisikan diri sendiri dulu. Seseorang bakal kebingungan dengan apa yang dia inginkan saat masih belum menemukan dirinya sendiri.
Menemukan diri sendiri gak mudah. Beberapa orang sudah menemukannya di bangku sekolah. Sebagian lain masih harus bertualang menjamah setiap sudut kehidupan supaya bisa dapat jawaban.
Pelik juga ya?
Ya memang.
Tapi, percayalah. Di posisi manapun kamu mengalami quarter-life crisis, mulailah berpikir kalau sekarang kamu baru mulai. Jangan ngarep dapet hasilnya buru-buru. Seperti kuwot di bawah ini:
cr: on pic |
Terus Nis, gimana cara melalui quarter-life crisis dengan elegan?
Jalani dan nikmati, kawan.
No comments:
Post a Comment