Desir angin malam sayup-sayup terdengar dari celah jendela
kayu di sisi tempat tidur. Sedikit kulebarkan daun jendela hingga terbelai
pori-pori wajahku. Begitu kejamnya dingin, menghempaskan kalor yang berpindah
dari segelas kopi panas, melayang ke sembarang arah, menyisir setiap massa yang
dapat ia tinggali.
Betapa aku menikmati kejamnya kali ini, begitupula seringai
tajam dibalik semak yang biasanya membuatku bergidik. Bulan sabit tergantung
manis di sudut lukisan malamku, cahaya redupnya memantulkan objek di bawahnya
dengan elegan. Dalam ruang pikiranku, di bawah temaramnya kekasih bintang,
seorang wanita bergaun hitam berlari di kebun halaman tetanggaku yang luas.
Rambutnya tergurai panjang, hitam mengkilap, dihiasi bandana berbulu hitam di
ujungnya. Kulukiskan ia sedang menatap seekor rusa. Sambil tersenyum. Ah bukan,
menyeringai.
Ada sesuatu di balik seringainya.
Digenggamnya suatu benda runcing berkilap. Pantulan cahaya
itu menonjolkan si gadis dalam bingkai lukisan, membuatku semakin penasaran.
Ditikamnya rusa malang dengan benda itu. Darah berkucuran dari bagian perutnya.
Sambil menahan sakit, hewan itu tergopoh-gopoh berlari menghilang memasuki
semak. Wanita itu mengikutinya perlahan. Lalu menghilang.
Sayang sekali, padahal aku masih ingin lihat. Bahkan tokoh
dalam imajinasiku sendiri pun tidak mau menuruti keinginanku. Malam menuju pagi
itu diakhiri dengan jendela yang masih terbuka dan aku yang terlelap kemudian
masuk angin.
***
Kubuka kembali jendela pada malam berikutnya. Menyiapkan
alat lukisku: secangkir kafein, angin malam yang romantis, dan kanvas langit.
Kali ini bintangnya banyak.
Sembari menanti si gadis misterius, pikiranku
melayang-layang. Pria malang adalah aku di mata kebanyakan orang. Dilahirkan
bergelimang harta, membuatku lupa bahwa rasa cinta ialah yang mewarnai dunia.
Tumbuh bersama benda-benda mahal meyakinkanku kalau uang adalah sahabat sejati.
Sesungguhnya Tuhan menyadarkan manusia dengan berbagai cara.
Padaku, caranya adalah menarik segala sumber uang. Bapak ditangkap polisi. Ibu
meninggal karena stress. Aku ditinggal tanpa menyisakan uang serta ilmu yang
seharusnya kupelajari di kelas-kelas bisnis mahal yang dibayar bapak. Yah, saat
itu nongkrong di apartemen sambil nyabu lebih menarik daripada bagan
berwarna-warni dan profesor yang membosankan. Percayalah, bagi orang sepertiku,
kehabisan uang adalah neraka terpanas.
Pada sesap kopi ke sembilan, ia menampakkan diri. Kali ini
lebih dekat. Aku bahkan bisa melihat warna matanya.
Hitam pekat, selaras dengan bandananya. Wajahnya manis,
dengan hidung bangir dan alis mata tegas. Kulitnya putih pucat. Tapi, ada
sesuatu yang paling membuatku jatuh cinta. Sorot mata itu. Kosong, seperti yang
terasa di dalam hatiku. Atau seluruh hidupku.
Kunamai ia Mary. Karena memang cocok.
Mary yang kulihat saat ini sedang menutup lubang di tanah.
Dengan cangkul yang kurasa terlalu besar untuk ukuran tubuhnya. Aku pun
bertanya-tanya dari mana tangan mungil itu mendapat energi untuk mengangkat
gagang kayu itu.
Ada sedikit rasa ingin berinteraksi dengannya. Sepatah kata
hai mungkin bisa membantu, namun lidahku lunglai sementara mataku sibuk terkesima
dengan pemandangan lukisanku sendiri.
Ah sudah jam empat. Aku tidur dulu ya, Mary.
***
Setiap malam di minggu ini, aku terus melakukan hal yang
sama. Membuka jendela kamar untuk menyaksikan Mary. Banyak hal yang dia
lakukan. Terkadang dia bermain dengan boneka kecilnya. Kadang dia berburu lagi.
Meski hanya menatap dari kejauhan, tak pernah bosan aku menjadi penonton
setianya.
***
Malam ke dua puluh enam di bulan April. Mulailah aku
mengerjakan ritualku. Dinginnya masih seperti biasanya, namun yang berbeda
adalah kali ini lebih dingin. Juga disertai bau tanah basah. Sisa hujan
sepanjang hari.
Kali ini ia tak berlama-lama sembunyi. Tapi sekarang ia
hanya terduduk membelakangiku, menatap bintang-bintang. Aku merasa inilah
kesempatanku untuk menyapanya.
“Hei. Hei,”. Ia tidak bergeming. Aku merasa sedikit bodoh.
Bukankah ia hanya bayanganku saja? Bagaimana mungkin aku berbicara dengannya? Tapi, mungkin saja sebenarnya dia nyata, kan?
“Mary!” panggilku. Kali ini ia menoleh! Aku menyuruhnya
mendekat menggunakan isyarat tangan. Tak lama dia menghampiri sisi jendelaku.
Menatap wajahku dengan wajah pucatnya. Diam saja.
“Kamu manis,” ujarku. Dari sekian banyak pertanyaan yang
bisa kusebutkan, mengapa malah gombalan yang keluar dari bibirku?
Seulas senyum tersunging di bibirnya. Namun tidak pada
matanya. “Kamu nampak sedih,” bisiknya. Suara Mary terdengar seperti suara
gadis usia dua puluhan pada umumnya, tapi terlalu datar.
“Iya, begitu banyak masalah menimpaku. Aku tidak punya uang
maupun pekerjaan. Kesehatanku tidak begitu baik. Pacarku hanyalah gadis malang
yang tidak kucintai. Keluargaku tidak bersisa. Dan kamu tahu apa yang paling
parah? Aku tidak punya tujuan. Hidupku tidak bermakna,”
Mary mengulurkan tangannya untuk akhirnya kusambut.
Tangannya sedingin es batu. “Percayalah, kamu bukannya sia-sia ada disini.
Buktinya, kamu bisa menciptakan aku. Kamu seperti malam. Tidak menyadari
keeksisannya sendiri, namun ia akan tetap ada dan dinanti seseorang.”
“Memangnya, siapa yang menantiku?”
“Aku,” ujar Mary. “Setiap malam aku menunggumu di ujung
halaman. Kemarin, saat kau tidak disini, aku sungguh kecewa,”
“Kamu menyadari keberadaanku disini?”
“Tentu saja,”
“Maaf, aku terus-terusan menatapmu,”
“Tidak masalah, sayang. Aku milikmu,” merekahlah senyumnya. “Maukah
kau menari denganku disini?”
“Tentu saja,” jawabku tanpa ragu. “Tapi.. bagaimana caranya?”
“Ada satu hal yang perlu kamu lakukan,” bibirnya mendekati
telingaku, membisikkan sesuatu yang membuatku bergidik.
***
Butiran tablet putih yang berserakan tumpah dari botol
adalah objek pertama yang kulihat begitu memasuki kamar Tommy. Di sampingnya,
tepat di depan jendela yang terbuka, tergeletak tubuh kekasihku itu. Napasku
tertahan bersamaan dengan munculnya rasa mual di perut. Aku berlari secepat
mungkin untuk memeriksa tubuh milik pria yang paling kucintai. Kepalaku terasa
panas, sampai-sampai mataku berair. Gemetar tanganku meraih ponsel, menekan tombol
ambulans.
***
Kegelapan
yang berlangsung begitu lama akhirnya berakhir. Cahaya samar memasuki celah
mataku. Inikah kematian? Tempat aku bisa bersemayam selamanya bersama Mary.
Tidak terasa begitu buruk seperti yang orang-orang bilang.
“M-mary?”
bisikku ketika tertangkap bayangan buram sesosok wanita yang tengah duduk di
sampingku.
“Sayang!”
jawab sosok itu. Tak lama pandanganku menjelas. Bukan Mary, masih Marsella.
Wajahnya begitu merah, apalagi matanya. Sepertinya ia habis menangis semalaman.
“Mengapa kamu melakukannya?” ia terisak lirih.
“Ah...
aku masih hidup ya,” aku sedikit kecewa. “Apa yang terjadi?”
“Aku
menemukanmu meminum banyak obat migrain di kamar. Untung kutemukan belum lama, jadi dokter
masih sempat menanganimu, sayang,” Marsella mengusap dahiku lembut dengan
tangannya. “Jangan tinggalkan aku,”
“Kenapa?
Aku ingin mati. Kenapa kamu menghalangiku, hah?!” bentakku tanpa sadar. Ia
nampak tersentak. “Kau pikir aku menikmati hidupku? Kau pikir masih ada alasan
untukku hidup?!”
“Aku
bisa jadi alasan untukmu hidup, sayang,”
“Sudah
kubilang dari dulu, kau tidak perlu bersamaku lagi! Keberadaanku juga hanya
menyulitkanmu, menambah biaya hidupmu. Kalau aku mati kamu bisa hidup tanpa
beban. Mengapa sih tidak pernah dengar? Lagipula aku sudah tidak mencintaimu!”
Marsella
terdiam. Mata gadis cantik itu berkaca-kaca, namun jelas ia menahannya dan berusaha
tersenyum. “Ssst. Kamu jangan teriak-teriak. Makan dulu ya? Aku buatkan bubur,”.
Dengan
kasar kulempar mangkuk berisi bubur hangat itu. Mataku terasa panas. Jantungku
berdegup kencang penuh amarah. Tanganku gemetar tak karuan sementara kakiku
berusaha mencari pijakan. Lari! Hanya itu yang ada di pikiranku.
Bantingan
pintu terdengar dari arah belakang, sementara mataku sibuk mencari tangga.
Lari! Lari! Puncak tertinggi adalah tujuanku. Aku mau terbang.
Napas
cepat mengiringi pengejaranku akan puncak gedung ini. Hingga sampailah pada
ruang luas dengan sapuan angin pada pipiku yang pucat. Bentangan hitam! Begitu
pekat, tanpa awan ataupun bintang-bintang. Ini pastilah takdirku untuk bertemu
dengan Mary. Terima kasih semesta, kini sudahlah datang waktuku.
Dengan
mengerahkan sepenuh tenaga, kuhentakkan kakiku sekeras mungkin, mengejar bayang-bayang
Mary yang kian jelas di hadapanku. Tunggu aku Mary! Bawa aku terbang bersamamu.
Dan
melayanglah kami, melintasi kejamnya malam, malangnya hidup, dan busuknya
dunia.
Aku
bebas.
No comments:
Post a Comment