Tuesday, September 19, 2017

Merenungi Kembali Cita-cita Konferensi Asia Afrika



sumber: lpkiabandung


Pagi itu, sepanjang Jalan Asia Afrika penuh sesak. Kerumunan manusia berkulit sawo matang bertepuk tangan sambil membawa bendera-bendera kecil. Mereka membentuk barisan menyamping, menyisihkan jalan kosong di tengah. Di tengah jalan terdapat barisan orang-orang penting dengan beragam warna kulit. Mereka nampak mengenakan pakaian asalnya masing-masing.
Pada hari yang penuh semangat itu, akan diadakan sebuah konferensi di Bandung yang dihadiri oleh para petinggi negara di Asia Afrika. Tujuan mereka adalah menyepakati hubungan internasional berdasarkan hak asasi manusia dan menjunjung tinggi perdamaian antar negara. Pertemuan ini dilatarbelakangi oleh persamaan nasib negara-negara peserta.
Konferensi yang berlangsung selama satu minggu tersebut menghasilkan sepuluh poin yang dikenal sebagai Dasasila Bandung, yang intinya adalah menghargai hak asasi manusia, mengakui kesetaraan ras dan bangsa, serta saling menghargai kedaulatan masing-masing bangsa. Hal ini salah satunya berdasar pada pengalaman buruk bangsa-bangsa yang pernah terjajah.
Enam puluh dua tahun kemudian, di jalan yang sama, seorang pemuda duduk di bangku jalanan, mendengus sambil menatap layar ponselnya. Nampaknya kekesalannya telah menumpuk, melihat konten internet yang menyuarakan kebencian. Pada kolom komentar, warganet melontarkan komentar pedas pada ras tertentu, menyuruh mereka enyah dari tanah Indonesia. Ia menyimpan ponselnya ke dalam saku, merasa tak tahan dengan isinya.
Pemuda itu menghela napas, lalu membuka lembaran surat kabar hari itu yang dari tadi diletakkan di pangkuan. Pada sudut halaman, ia menemukan berita yang menginformasikan pemberhentian paksa sebuah acara seminar di Jakarta. Ia teregun. Hak berkumpul dan berpendapat direnggut begitu saja oleh sekumpulan manusia dari manusia lain. Di halaman berikutnya, terlihat sekumpulan orang berpakaian hitam-hitam menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lampau. Sepertinya pemerintah belum melakukan tindakan yang berarti perihal masalah tersebut.
Ia mengalihkan pandangan pada jalanan padat merayap di depannya. Dulu, gelora semangat akan perlindungan HAM dan kesetaraan begitu meluap. Jalanan ini saksinya. Namun, saat ini, di tempat yang sama, pemuda itu tidak menyaksikan semangat itu. Semua orang sibuk merasa paling benar. Kebencian akan ras dan suku bangsa tertentu terasa di berbagai penjuru. Keadilan belum sepenuhnya tercapai.

Pemuda itu mendengus untuk kesekian kalinya. Meninggalkan korannya di bangku jalan. Kebanyakan diam dan mengeluh membuatnya tubuhnya pegal. Sekarang, dia akan lebih banyak bergerak.

No comments:

Post a Comment

< > Home
Nisrina Salma © , All Rights Reserved. BLOG DESIGN BY Sadaf F K.