sumber: lpkiabandung |
Pagi itu, sepanjang Jalan Asia
Afrika penuh sesak. Kerumunan manusia berkulit sawo matang bertepuk tangan
sambil membawa bendera-bendera kecil. Mereka membentuk barisan menyamping,
menyisihkan jalan kosong di tengah. Di tengah jalan terdapat barisan
orang-orang penting dengan beragam warna kulit. Mereka nampak mengenakan
pakaian asalnya masing-masing.
Pada hari yang penuh semangat itu,
akan diadakan sebuah konferensi di Bandung yang dihadiri oleh para petinggi negara
di Asia Afrika. Tujuan mereka adalah menyepakati hubungan internasional
berdasarkan hak asasi manusia dan menjunjung tinggi perdamaian antar negara. Pertemuan
ini dilatarbelakangi oleh persamaan nasib negara-negara peserta.
Konferensi yang berlangsung
selama satu minggu tersebut menghasilkan sepuluh poin yang dikenal sebagai
Dasasila Bandung, yang intinya adalah menghargai hak asasi manusia, mengakui
kesetaraan ras dan bangsa, serta saling menghargai kedaulatan masing-masing
bangsa. Hal ini salah satunya berdasar pada pengalaman buruk bangsa-bangsa yang
pernah terjajah.
Enam puluh dua tahun kemudian, di
jalan yang sama, seorang pemuda duduk di bangku jalanan, mendengus sambil
menatap layar ponselnya. Nampaknya kekesalannya telah menumpuk, melihat konten
internet yang menyuarakan kebencian. Pada kolom komentar, warganet melontarkan
komentar pedas pada ras tertentu, menyuruh mereka enyah dari tanah Indonesia.
Ia menyimpan ponselnya ke dalam saku, merasa tak tahan dengan isinya.
Pemuda itu menghela napas, lalu membuka
lembaran surat kabar hari itu yang dari tadi diletakkan di pangkuan. Pada sudut
halaman, ia menemukan berita yang menginformasikan pemberhentian paksa sebuah
acara seminar di Jakarta. Ia teregun. Hak berkumpul dan berpendapat direnggut
begitu saja oleh sekumpulan manusia dari manusia lain. Di halaman berikutnya,
terlihat sekumpulan orang berpakaian hitam-hitam menuntut penyelesaian kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di masa lampau. Sepertinya pemerintah belum melakukan
tindakan yang berarti perihal masalah tersebut.
Ia mengalihkan pandangan pada jalanan
padat merayap di depannya. Dulu, gelora semangat akan perlindungan HAM dan
kesetaraan begitu meluap. Jalanan ini saksinya. Namun, saat ini, di tempat yang
sama, pemuda itu tidak menyaksikan semangat itu. Semua orang sibuk merasa
paling benar. Kebencian akan ras dan suku bangsa tertentu terasa di berbagai
penjuru. Keadilan belum sepenuhnya tercapai.
Pemuda itu mendengus untuk
kesekian kalinya. Meninggalkan korannya di bangku jalan. Kebanyakan diam dan mengeluh
membuatnya tubuhnya pegal. Sekarang, dia akan lebih banyak bergerak.
No comments:
Post a Comment